Jendela Hati Sang Guru

Jendela Hati Sang Guru

Oleh : Fatkhul Wahab, M.Pd

 

Subuh merayap di pelupuk mataku yang masih bergelut dengan mimpi buruk,  ada sinar yang membuyar di atas ubun rumahku. Sinar entah dari mana bagaikan ndaru masuk menyelinap dan jatuh di kamarku.  Itulah yang terjadi di keramaian desa yang sedang memanen suara pilkades.  Pertanda ayahku akan  menjadi lurah menurut kebanyakan perbincangan para ahli spiritual.  Aku kaget sebab ada suara-suara kegembiraan yang mengganggu tidurku yang tergiang di telingaku.

“Alhamdulillah,  ndarunya masuk rumah ini,  rumah ketela.. Ketela akan menang.. Menang!!!

Di sisi lain,  emakku mendekatiku dan memegang telingaku.

“wan, bangunlah! Hari sudah terang dan orangtuamu sudah menyelesaikan subuhnya.” kata emakku sambil menyingkap mukenanya.  Mataku terbuka tapi pandangan mata masih samar-samar.  Kuusap kedua mataku sambil berdoa dan beristighfar.  “Iya Mak!.. Maaf Mak.. ”

Kaki kanan melangkah menginjak lantai yang masih dingin.  Segera berwudlu dan salat Subuh kesiangan dua rakaat.

Sujud pertama dan kedua cukup kencang,  anginpun masuk ke dalam telingaku. Ada bisikan lembut dari jiwa ini untuk mengubah Kebiasaanku yang sering terlambat salat subuh.

Emakku memasak lauk kesukaanku,  lauk sederhana yaitu bayam bersantan dan ikan teri.

Di ujung langit yang mulai berwarna gelap,  aku dikagetkan ayahku dengan kalimat asing ini dan inilah yang mengubah segalanya. “Wan,  kamu harus tholbul ‘ilmi di pesantren Tambak Beras Jombang mulai bulan Muharrom ini ya?” Leherku berpaling ke arah suara itu,  yang kulihat wajah ayahku ternyata.  “Tholabul ‘Ilmi nopo pak?  Bagaikan disambar petir saja dengan kata itu sebab tak biasanya ayahku memakai bahasa arab. Telinga ini pun terasa panas.

“Hemmm..!” “ora ngerti?? ” Ayahku menangkap wajahku dengan senyum dan menganggukan tiga kali dengan sangat pelan.  “Mondok di pesantrenJawabku menunduk , “Saestu pak! ” “Awakmu mondok di pesantren atau kamu nginep belajar di pondok pesantren begitu” “Berarti seperti ustadz Tohirin nopo tapi bedanya pondoknya di Termas?”

“Wah pinter banget kamu Wan” Senyum ayahku terbuka lebar saat itu.

“Di Cilacap juga ada pondokan pak? ” “Kenapa harus Jauh nggih,  itu sih masukan kula pak. ” Tapi kulo manut mawon.” . Aku menunduk kembali(Tubuhku gemetar) ” Kamu cerdas! ” “Cerdas! ” Bapakmu wis kalah.. Mantap! ” Ditepuk punggungku pelan dan dipeluk dengan erat tubuhku yang gemetar.  “Aku bangga pada kamu Wan.. Bangga sekali,  kamu kritis dan mudah paham! ” “Bapak manut,  kamu mondok di pesantren Cilacap.

Singkat cerita Aku dipondokkan di pesantren Cilacap dengan masa tempuh belajar hampir 16 Tahun. Cukup lama berkehidupan di sana.  Banyak suka dan dukanya, banyak kenangan dan pengalaman, banyak cerita yang lucu maupun yang menyedihkan, banyak peristiwa baik dan mendebarkan,  banyak kesulitan menempuh belajar di pesantren.

Pendidikan yang sudah saat itu baru SD. Yah,  masih kecil sebenarnya namun rupanya ayahku sudah bertekad bulat agar aku mondok di pesantren. Ayahku sangat bahagia namun berbeda dengan ibuku, Beliau mengalami kekhawatiran yang besar dengan diriku yang masih kecil mondok.  Bukankah selama ini ibuku yang membangunkanku salat Subuh,  ibuku yang mengendong dan menuntunku ke masjid untuk mengaji,  ibuku yang selalu berteriak agar aku pulang saat matahari belum tenggelam, ibuku yang dengan tekun mengajari ulang pelajaran membaca huruf arab,  ibuku yang memakaikan baju koko supaya gasik ke masjid untuk mendengarkan suara adzan salat magrib dan Isya,  ibuku yang memandikan dan menyemprotkan minyak wangi ke pakaian koko untuk salat Jumat, dan banyak lagi.  Jiwa ibuku sedalam samudra untuk anaknya.  Di samping ibuku yang sedih dan pilu juga kakak perempuanku.  Ia setia membantu pekerjaan di rumah.  Ayahku tega melepasku tidur di lantai beralas karpet dan berbantal buku-buku. Ayahku tega melepasku mandi sendiri,  makan seadanya,  tidur tanpa didampingi ibuku,  mencuci sendiri. Menyetrika sendiri, dan ratusan pekerjaan di pondok. Ayahku tega berbulan-bulan malah terkadang bertahun-tahun tidak melihat wajahku ibuku,  wajah kakakku, wajah embahku, wajah teman-teman sekampung dan lainnya.  Ayahku tega melepasku dari kesenangan bermain game dan puluhan kegemaran seusiaku. Aku merenung waktu itu di tengah malam sehabis salat tahajud. Mata ini tertutup oleh hujan air mata dan aku menangis sejadi-jadinya tanpa takut terhadap siapapun makhluk yang melihatku di masjid pondok.  Aku menjadi sosok yang berani dengan hidup sepahit apapun dan sosok yang berani dengan risiko hidup apapun.  Di pondok waktu itu,  aku tanamkan jiwa kasih sayang ibu yang sangat luas dan dalam. Di pondok waktu itu,  aku mengambil  ketegasan dan kemuliaan ayahku memondokkanku untuk kebaikan diriku, untuk memiliki jati diri yang kuat,  memiliki keilmuan dan keimanan yang kuat dan ratusan harapan yang baik.  Kata ayahku waktu itu,  “Wan,  elingo pesan bapak ya,  kamu tidak harus menjadi kyai atau ustadz  atau sandangan apapun  yang biasa melekat setelah mondok.  Tetapi jadilah abdan syakuro dan manusia yang bermanfaat bagi dirinya, keluarga,  masyarakat,  bangsa dan negara ya? ”

“Nggih Pak! ”

“Doakan mawon kula saged nglampahi pesan Bapak! ”

“Bapak, ibu,  kakak sehat selalu dan mendoakan kamu selalu”

Ayahku memeluk sangat erat dan mengelus kepalaku. Drama saat itu penuh dengan melodi sendu dan menyayat hati tanpa batas apapun.  Perpisahan walaupun tidak selamanya namun sangat kuat mwnghujam di lubuk hati.  Ibuku pingsan seketika dan kakakku menangis dan menatap tajam wajahku, tubuhku dan tas besar yang menemaniku di kamar penuh lemari pakaian itu.  Langit dan bumi Cilacap menjadi saksi puncak kesedihan dan ketabahan dilepas oleh keluarga.  Masa-masa menikmati hidup menjadi anak lurah desa,  orang nomor satu di desa musnah dan terkubur. Itulah nasibku.

 

Itulah masa kecilku yang kuceritakan kepada para anak buahku di madrasahku. Kini aku adalah sosok kepala madrasah yang mempunyai kewibawaan di depan semua guru dan karyawan.  Ayahku sudah lama dipanggil Sang Pencipta,  sebelumnya Beliau lurah yang disegani karena ketulusannya mengabdi pada masyarakat. Kewibawaan sebenarnya tidak perlu dicari ke mana-mana namun akan muncul jika diri ini mau mendengar keluh kesah siapapun di madrasah dan mau memberikan solusi serta memberikan keteladanan di setiap waktu.  Yang terpenting Ia bisa membawa diri dan jabatan nya ke arah yang lebih baik. Ia bisa memberikan kesejahteraan hidup anak buahnya,  memberikan kedamaian,  dan mengikat kuat dalam kekeluargaan di madrasah.

“Pak Kepala,  ada tamu di depan pintu kantor TU, katanya mau bertemu dengan kepala madrasah.” lapor Waka humas madrasah.

Bergegas bapak kepala menuju pintu TU dan seketika itu , Pak Kepala menangis karena sangat terharu,  sosok kiai dan bapaknya di pondok Cilacap itu hadir menemuinya untuk memberikan doa dan restu untuk anaknya, santri kesayangannya. Allahu Akbar…! Subhanalloh..! Alhamdulillah..! Bapak..!!!

Bapak kepala madrasah yang dulunya santri pontren Cilacap itu dan anaknya itu mencium tangan dengan takdzimnya sangat kuat dan lama.  Kebahagiaan dan kedahsyatan pertemuan tanpa terpikirkan. [12.29, 22/11/2021] Fatkhul Wahab,S.Ag.,M.Pd: saat itu, yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Bapak kepala mempersilakan masuk ke ruang kepala dan dituntunnya dengan hormat dan gesit menuju ke tangga ruang Kepala tepatnya di lantai dua madrasah tersebut. Kerinduannya telah terpenuhi dengan kalimat takbir dan tahmid, “Terima kasih Ya Alloh,hambaMu  yang penuh kealpaan dan kekurangan ini telah kedatangan tamu agung, lampunya ilmu,dan pencerah kehidupanku, kini aku dapat bersamanya hari ini..Ya Alloh limpahkan keberkahan dan kekuatan kepada kami keluarga besar madrasah ini.

Tak terasa. Sudah sampai di depan kantor kepala yang sangat rapi dan mewangi. Mata ini membuka dengan lebar seolah l mengukur ruangan yang cukup luas, keindahan dan kenyamanannya tampak di ruangan itu.  Mebeler maupun berbagai perabotan yang  memadai terlihat jelas dan memiliki   kualitas serta kombinasi  warna dinding ruang itu tidak jauh dari warna kesukaan sang guru di pontren. Sehingga ruangan itu akan membuat siapapun yang berada di ruangan itu akan merasa nyaman dan terkenang memori lama. Terlebih lagi pajangan kaligrafi ayat menuntut ilmu tampil berderet vertikal sehingga sangat indah .

 

Pak Kyai tersenyum bahagia melihat itu semuanya. Dalam hatinya terucap kalimat, “Santriku ini sangat memuliakan ilmu apalagi kepada pendidikan dan pengajaran di pondok saat Ia nyantri. Kekhasan pondok masih diugeminya. Sungguh keberuntunganku mendapatkan santri yang demikian.

“Monggo pinarak Bapak kyai?”

Iya ..Wan…Masya Alloh…baguus..baguus..ruanganmu ini.. Alhamdullilah..

Deretan suguhan yang terbaik telah ada di meja. Hidangan kesukaan bapak kyai ditampilkan di sebelah kanan dari semuanya. Minuman air bening, kopi,wedang jahe, dan wedang asem di samping di meja bertaplak tersendiri.

Bapak kyai menatap semuanya yang terhidang,tak terasa air matanya gurunya meleleh bagai lahar dingin gunung Merapi.”Iwaaan…kamu luar biasa…luar biasa…Masya Alloh..Saya…sampai terharu..duh malu sama kamu..Bapak menangis karena bersyukur. Sejenak setelah ngobrol kemadrasahan dan kabar pesantren gurunya di Cilacap beserta kembali memorinya antara santrinya dan sang kyainya di sana.

Lalu pak Kyai duduk tenang menikmati hidangan yang luar biasa bernuansa pondok pesantren..hening di ruangan kepala madrasah..hanya perang sendok dan garpu dengan pelan terdengar..kepuasan dan kenikmatan masakan madrasah untuk menjamu tamu kepala madrasah itulah yang menjadi berita terkini yang terdengar di ruang guru.

Kepala madrasah memandang wajah pak kyai sangat polos dan penuh ketaatan. Ia mendekati sosok teladannya dengan malu dan menyampaikan permohonan doa untuknya dan untuk seluruh civitas akademi.Pak Kyai tersenyum lalu membuka cakrawala literasi dan lafal-lafal arobiyyah dengan syahdu dan fasih.

“Sudah…Kamu dan para guru karyawan serta santri-santrimu , Semoga sejahtera lahir dan batin.” “Jadilah pemimpin yang taat kepada Alloh SWT dan Rasulullah dan pemerintah.” , “Aku pamitan Nak!” Titip salam untuk semua keluarga besar madrasahmu ya?”

Dicium tangan pak kyai. Diantarkan gurunya sampai ke gerbang pintu madrasah.  Para guru, karyawan,dan para  siswa-siswi madrasah ikut melepas sang gurunya. “Berkah ini yang kudapatkan.” Airmatanya mengalir deras menelusuri pipi sampai dadanya dan meresap ke dalam jiwanya.