Buah dari Keteladanan

Buah dari Keteladanan

Oleh : Fatkhul Wahab, M.Pd

 

Lembaran berwarna merah melayang-layang di atas kepala, kutangkap dengan telapak tanganku secepat kilat tetapi sulitnya. Kucoba lagi dan kucoba lagi namun tetap tak bisa ditangkap. Keringat bercucuran dari kepala sampai ke leher. Aku tak putus asa. Lembaran itu akhirnya mulai lemah dan jatuh di lantai keramik putih. Berdebar jantungku dan tangan ini mendekat untuk memungutnya. Terucap kata, “Alhamdulillah..!” …Lembaran berwarna merah itu hilang. Rupanya uang 100 ribu yang masih baru dan sangat indah.

Aku mundur dua langkah tanda kaget bercampur sedih. Kedua bola mata ini menatap tajam ke atas, ke samping kanan dan kiri, ke bawah, dan ke arah yang lain sampai akhirnya ke arah yang jauh di sana. Aku mengambil nafas yang panjang dan kutahan terus sampai tak kuat lagi lalu kukeluarkan secara pelan. Bisikan hatiku mengatakan, sudahlah kau sedang diuji oleh lembaran itu. Suatu saat kau akan bertemu kembali bukan selembar tetapi berlembar-lembar. Aku mengangguk dan hilang rasa dongkol ini. Tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu kamarku, ” Mulyo, Kamu tadi bermimpi yah?”

Sebersit cahaya menyilaukan mataku, lampu kamar dinyalakan oleh Ibuku. “Iya bu..!” kataku lugu. “Keringatmu menutupi wajahmu dan membasahi kaosmu, bangunlah dan cuci mukamu. Ambil air wudhu sekalian dan segera ke masjid. Jamaah sudah menunggumu.” Kata ibuku menuntun sembari memegang pundakku.

Maghrib menjelang dan suasana sibuk para penghuni rumahku. Mereka bersegera ke masjid. Hanya ayahku yang masih tergeletak di ranjang kamarnya. Aku berpamitan dengan ayah dan mencium tangannya. “Mulyo akan ke masjid pak.”

“Ya nak. Kamu harus mengganti imam setiap lima waktu di masjid. Bapak pasrah kepada kamu!”

Berbekal ilmu agama dari MI dan MTs yang kumiliki, aku bisa menggantikan imam di masjid sejak ayahku sakit keras. Ibu selalu memompa semangat. Adik-adikku selalu mengingatkanku saat diriku ini sedang terjebur kesibukan mengerjakan skripsi di kamar. Semuanya berjalan dan mengikuti irama perjuangan yang kualami sebagai seorang kakak tertua di keluarga Pak Cipto Waluyo.

Pak Cipto Waluyo, bapakku yang sehari-hari menjadi petani bekikuk di desanya. Beberapa hewan piaraan kampung seperti kambing, ayam, dan kelinci untuk tambahan pemasukan termasuk membiayai kuliahku. Adik-adikku masih kecil dan belum banyak pengeluarannya. Ibuku berjualan mendoan dan bakwan yang dititipkan ke warung-warung tetangga. Rejeki selalu diterima dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Bapakku mengimami masjid sejak berdiri berpuluh-puluh tahun lamanya. Aku masih ditimang-timang oleh ibuku dengan nyanyian sholawat tiada henti sampai aku tertidur pulas waktu itu.

Jam di dinding menunjukkan waktu Subuh telah datang. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mandi dan mengambil air wudhu. Tak terbesit apapun di benak pikiran dan hati ini. Usai mengimami shalat subuh di masjid dan berwiridan bersama jamaah masjid. Ibuku berlari secepat kilat ke rumah. Entah apa yang terjadi . Aku bangun dari sajadah pengimaman dan keluar masjid sambil berdoa: “Allohummaftahli abwaba minfadlik…” “Semoga Alloh selau memberikan kasih sayang dan Rohman-NYa kepada keluarga kami. Aamiin.  Sampai depan rumahku, tiba-tiba terdengar tangisan pilu ibuku di kamar ayahku. “Pak..!…Bapaak!…Ya Alloh.. Bapak!! Ini Ratmi paak!…Ratmi jangan ditinggal paak…Inna lillahi wa Inna ilaihi rojiuun…Mulyooo!!! , Atuuun..Ajeeeng!! Budiii!!!…Bapakmu naak!..ibuku berteriak memanggil dengan keras berkali-kali. Seluruh penghuni rumah terbangun. Akupun segera ke kamar Bapak dan memeluk bapak dan ibuku memelukku dengan keras. Suara tangisan membahana di rumah sederhana itu. Adik-adikku segera berlari dan semuanya tumpah meratapi wajah ayah yang sudah diam dan dingin. Ayahku dipanggil Yang Maha Kuasa, ayahku kembali ke Rohmatulloh, Ayahku telah meninggal dunia, ayahku meninggalkan Kami. Tetangga-tetangga berdatangan dan menangisi kepergian ayahku. Kabar ayahku telah meninggal dunia di menara masjid telah  menyesakkan dadaku. Air mata membanjiri rumahku dan rumah tetangga-tetangga. Aku harus pasrah dan ikhlas. Kutanamkan kepada ibu dan adik-adikku untuk ikhlas atas kehendak Sang Maha Kuasa. Bangkit dari kesedihan dan ikuti pesan-pesan moral yang selalu diucapkan ayahku usai salat di masjid dan sebelum kami makan malam di rumah. Suasana duka cita yang mendalam dari keluarga dan masyarakat selama tujuh hari. Doa-doa dipanjatkan untuk mengiringi pengebumian dan doa di rumah selama tujuh hari.

Hari-hari kulalui tanpa seorang ayah. Berbekal ilmu dari pengajian yang diisi oleh ayahku setelah salat Maghrib di masjid. Aku semakin memahami kehidupan yang menjadi dua bagian yaitu dunia dan akherat. Semua dakwah akan membicarakan keduanya. Ada arti hakiki yang menancap pada relung kalbuku. Aku harus menjadi sosok teladan seperti ayahku. Ayahku mengikuti petunjuk ayat Alquran yang terukir dalam surat Al-Ahzab ayat 21. Yang artinya, Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. Ayat tersebut selalu kulantunkan pada acara maulid nabi Muhammad Saw saat ditugasi membaca tilawah bahwa pada diri Muhamamd Saw ada suri tauladan.  Ayat inilah yang menjadi bekal pondasi pada diriku untuk mengemban amanah sebagai kakak tertua.

 

Ibuku selalu tersenyum dan bangga dengan diriku. Tak terasa kuliahku selesai dan berhasil meraih predikat Cum Laude .  Saat menerima penghargaan dari fakultas, aku tak tahan menangis di podium saat menyambut sepatah dua patah kata penerima penghargaan sebagai mahasiswa terbaik. Saat itu kuberusaha berhenti menangis namun sangat sulit. Aku menarik nafas panjang dan kutahan lama. Semua orang di ruangan luas membentang itu terdiam dan terhanyut dengan keadaanku. Tiba-tiba aku mendengar teriakan ibuku “Mulyo!!!… berhentilah menangis…Ayahmu menyaksikanmu di sini..! Kau harus tabah!!! Ibumu juga tabah!! Adik-adikmu juga tabah!!!..

Saat itulah, aku mulai bisa menghentikan tangisanku dan mengakhiri pidato dengan seutas kata dari mendiang ayahku: ” Alloh SWT akan menjaga dan melindungi keluarga dan orang-orang yang bertaqwa”.

Ucapan salam kusebutkan dengan lantang. Semua hadir menjawab salam dan bertakbir kencang. Pembawa acara mengajak mendoakan ayahku dengan surat Alfatihah.

 

Tiba-tiba rektor fakultas pendidikan berdiri menyambutku dan memberi pelukan. Beliau memegang pundakku dan membisikan ke telinga kananku, Mulyo berdirilah sebentar denganku, jangan turun dahulu.”

“Para hadir yang saya hormati…..ijinkanlah saya memberi sambutan singkat, …”

Semua hadir terdiam dan terpaku dengan apa yang diucapkannya. Hatiku berdebar-debar dan akan meledak. Ada apa ini, gumamku dalam hati.

Lama menunggu apa yang akan dikatakan orang nomor satu di fakultas itu.

“Mulai besok, Mulyo menjadi dosen di fakultas pendidikan ini dan berkat kekuatan akhlaknya mampu menjadi contoh bagi kita semuanya. Saya pribadi akan memberikan dana untuknya guna melanjutkan pendidikan pasca di luar negeri. Sebagai tanda komitmen kesungguhan saya ini, saya akan memberikan lembaran-lembaran uang 100 ribuan sejumlah 10 juta. Semoga dapat diterima dengan baik”

Ibu….ibu…ibu…majulah ke panggung. Semuanya karena didikan ayah dan ibuku bisa seperti ini dan pula yang tidak dilupakan adalah Atas Berkat Alloh Yang Maha Kuasa… Tangisanku meledak-ledak tak bisa ditahan oleh apapun. Pak Rektor pun memelukku sangat erat dan ibuku menaiki panggung dengan tangisan yang tak terhentikan sebagai rasa syukur.